Nama Kursus : PENGANTAR PERJANJIAN LAMA
Nama Pelajaran : Pentingnya Mempelajari Perjanjian Lama
Kode Pelajaran : PPL-R01c
Referensi PPL-R01c diambil dari:
Judul Buku : SURVEI PERJANJIAN LAMA
Judul Artikel: Pendekatan Kepada Perjanjian Lama
Penulis : Andrew Hill, dkk.
Penerbit : Yayasan Penerbit Gandum Mas
Thn. Terbit : 1991
Halaman : 3-8
REFERENSI 01c - PENTINGNYA MEMPELAJARI PERJANJIAN LAMA
PENDEKATAN KEPADA PERJANJIAN LAMA
Mempelajari Perjanjian Lama adalah tugas yang amat besar, tetapi
persiapan yang tepat dapat menolong mahasiswa untuk menuai panen yang
melimpah. Allah yang berdaulat yang menciptakan alam semesta, yang
mengawasi sejarah, dan yang akan menyelesaikan rencanaNya tepat pada
waktu yang sudah ditetapkanNya yang telah memutuskan untuk berbicara.
Hal itu sendiri telah merupakan tindakan anugerah, dan kita
berkewajiban untuk mendengarkan. Walaupun demikian, mendengarkan dapat
terhalang oleh banyak faktor yang menyulitkan. Pertama, wahyu atau
penyataan Allah tidak disampaikan dalam bahasa atau kebudayaan kita.
Sebagai akibatnya, kita barangkali harus bekerja lebih keras untuk
dapat menerima berita yang disampaikan dengan jelas. Semakin paham
para mahasiswa akan kebudayaan Timur Dekat purba, khususnya kebudayaan
Israel, selama zaman Perjanjian Lama, semakin mampulah mereka
menyingkirkan penghalang-penghalang yang ada.
Faktor kedua yang mempersulit adalah bahwa kendati kita mendengarkan,
kita cenderung untuk memilih-milih apa yang kita dengar atau mencoba
untuk menyesuaikan berita itu dengan apa yang kita ingin dengar. Jalan
keluar untuk ini adalah dengan mengizinkan Alkitab berbicara sendiri.
Kita semua mempunyai berbagai praduga tentang Alkitab. Praduga-praduga
ini perlu dievaluasi terus-menerus dan disaring agar jangan sampai
memutarbalikkan ajaran Alkitab. Tujuan para penulis Alkitab tidak
boleh ditempatkan lebih rendah terhadap maksud tujuan kita sendiri,
betapapun berguna maksud tujuan kita itu. Banyak hal yang sangat
berharga dapat dipelajari dari Perjanjian Lama, tetapi tidak semuanya
itu hendak diajarkan oleh Perjanjian Lama. Jika para mahasiswa
berkeinginan untuk memeproleh pengajaran yang absah dari teks
Perjanjian lama, maka harus belajar untuk menambah ide-ide mereka
sendiri pada teks tersebut. Apabila Alkitab diizinkan untuk berbicara
dari ketinggiannya sendiri dan menurut agendanya sendiri, pembaca akan
dapat menjadi lebih terbuka untuk memepelajari apa yang hendak
diajarkan oleh Alkitab.
PENYATAAN DIRI
Sebagai penyataan diri Allah sasaran Perjanjian Lama adalah agar
pembaca akan mengenal Allah dengan lebih baik. Namun, proses ini tidak
dimaksudkan untuk sekedar mengetahui bahwa Allah ada. Sebaliknya
pengenalan akan Allah ini tercapai dengan cara mengalami sifat-
sifatNya. Mampu mencatat semua sifat Allah tidak penting. Yang harus
kita capai adalah bahwa sifat-sifatNya itu menjadi kerangka dari
pandangan hidup kita. Yang kami maksudkan dengan ini adalah bahwa
pandangan kita terhadap diri sendiri, masyarakat kita, dunia kita,
sejarah kita, perilaku kita, keputusan-keputusan kita - segala sesuatu
- harus disatukan dengan pandangan yang jelas dan terpadu tentang
Allah. Sasaran Perjanjian Lama bukanlah kehidupan yang diubah,
kendatipun pengenalan akan Allah sudah seharusnya mengubah kehidupan
seseorang. Sasaran Perjanjian Lama bukanlah menyetujui suatu sistem
nilai, kendatipun suatu sistem nilai tentu saja akan merupakan akibat
dari mengenal Allah dengan sungguh-sungguh. Perjanjian Lama bukanlah
tempat penyimpan berbagai model peran historis, kidung-kidung yang
berdebu, dan perkataan nubuat yang tidak jelas, tetapi merupakan
ajakan Allah untuk mendengarkan kisahNya.
Kisah Allah ini diawali dengan penciptaan. Akan tetapi, yang
ditegaskan bukanlah bagaimana dunia mulai, tetapi bagaimana rencana
itu dimulai. Segala sesuatunya sudah tepat untuk pelaksanaan rencana
Allah. Dalam pengertian itu, penciptaan hanya merupakan pendahuluan
dari sejarah. Kedaulatan Allah pada awalnya dijamin oleh kenyataan
bahwa Ia menciptakan. Meskipun kenyataan ini mau tidak mau menyangkal
kedaulatan ilah-ilah lain, maksud tujuannya bukanlah membuka polemik
melawan politeisme kafir pada zaman itu. Tetapi daripada mengadakan
pendekatan negatif yang mencela dan membuktikan ketidakbenaran ilah-
ilah lain, Perjanjian Lama mengadakan pendekatan positif dengan
memberitahukan seperti apa Allah yang esa dan benar itu dan apa yang
sudah dikerjakanNya.
Sewaktu sejarah mulai, akan terlihat bahwa Perjanjian lama tidak
memberikan perhatian utama pada aspek-aspek politik dan sosial dari
sejarah. Yang terutama diperhatikan dari sejarah ini adalah bagaimana
Allah sudah menyatakan diriNya kepada orang-orang pada masa lalu. Hal
ini dicerminkan dalam nama-nama Allah yang memenuhi halaman-halaman
Perjanjian lama. Nama-nama ini menggambarkan Dia sebagai Allah ayng
kudus, mahakuasa, mahatinggi, dan yang menyebabkan terjadinya segala
sesuatu. Akan tetapi, Ia juga adalah Allah yang mendengar, melihat,
dan menyediakan. Pembrontakan dan kelemahan yang biasa terdapat pada
umat manusia menunjukkan Dia sebagai Allah yang penuh kesabaran dan
kasih karunia.
Sebagaimana halnya penciptaan memasuki sejarah, demikian juga sejarah
memasuki nubuat. Rencana Allah diawali pada permulaan, dijalankan
sepanjang sejarah, dan akan terus berlangsung sampai semua tercapai.
Dengan melihat rencana Allah dijalankan pada masa lalu (Pentateukh dan
kitab-kitab sejarah dan dimaksudkan untuk masa depan kitab-kitab para
nabi), kita mulai menghargai hikmat yang tidak terduga dari Allah yang
layak dipuji dan disembah (Mazmur-mazmur dan sastra hikmat). Dengan
demikian, Perjanjian Lama harus dilihat sebagai penyajian sifat-sifat
Allah dalam perbuatan. Kita dapat mengetahui siapa Allah itu dan
seperti apa Dia dengan jalan mendengar apa yang sudah ada yang akan
dilakukanNya. Sesudah kita mengethui siapa Dia itu, dan seperti apa
Dia, maka tanggapan yang selayaknya adalah penyembahan, komitmen, dan
pelayanan.
PERJANJIAN ALLAH
Di bagian inti dari penyataan-diri ini, yang menggambarkan rencana
Allah, terdapat perjanjian Allah (covenant). Bahkan nama "Perjanjian
Lama" menunjukkan bahwa covenant itu merupakan konsep inti dari
kumpulan kitab-kitab ini. Melalui covenant atau perjanjian ini Allah
menyatakna seperti apa Dia dan mengharuskan diriNya untuk menuruti
kelakukan tertentu. KesetiaanNya (hesed) pada covenant itu sering kali
menyebakan Dia melakukan tindakan kasih karunia dan kemurahan, namun
keadilan juga tercakup dalam covenant untuk memastikan pemberian
pertanggungjawaban oleh umatNya. Karena covenant itu merupakan sarana
yang digunakan Allah untuk mengadakan penyataan diri, Perjanjian Lama
sering kali tampil sebagai sejarah covenant, atau dari berbagai
aspeknya, lebih dari sekedar sejarah Israel. Jadi kitab Kejadian 12-50
adalah sejarah pengadaan perjanjian Abraham (atau Abrahamic Covenant).
Kitab Keluaran sampai dengan kitab Ulangan adalah sejarah mengenai
penetapan perjanjian di Sinai. Kitab Yosua adalah catatan mengenai
kesetiaan Allah terhadap perjanjian itu, sedangkan kitab Hakim-hakim
adalah catatan mengenai ketidak-setiaan Israel terhadap perjanjian
tsb. Kitab Samuel dan Raja-raja adalah sejarah perjanjian kerajaan
(Perjanjian Daud atau Davidic Covenant). Perjanjian itu sebagai
rencana Allah terlihat dengan lebih jelas daripada orang-orang yang
terlibat dari generasi ke generasi.
Beberapa pendekatan yang berbeda-beda terhadap Perjanjian Lama dapat
dibedakan satu daripada yang lain melalui paham setiap pendekatan itu
mengenai gagasan perjanjian dan kaitan berbagai perjanjian itu
terhadap satu sama lain. Adakah banyak perjanjian yang berbeda-beda
yang terlepas dari yang lain mengatur berbagai periode sejarah,
ataukah hanya ada satu atau dua perjanjian yang mengatur yang memiliki
beberapa perjanjian tambahan lainnya yang menawarkan perluasan dan
penjelasan? Adakah satu perjanjian yang tidak bersyarat yang terdiri
atas beberapa perjanjian bersyarat sebagai bagian pelangkapnya,
ataukah keseluruhannya merupakan perjanjian bersyarat?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang dijawab dalam berbagai cara oleh para
sarjana yang berbeda-beda, menjelaskan berbagai kontroversi teologis
tentang Perjanjian Lama, hubungannya dengan Perjanjian Baru dan
keterkaitannya dengan kita dewasa ini. Namun jawaban-jawaban yang
diberikan untuk pertanyaan-pertanyaan ini tidak mengubah citra Allah
yang diberikan oleh perjanjian itu. Hanya bentuk teologinyalah yang
dipertaruhkan dalam persoalan ini, dan bukan sifat Allah sebagaimana
Ia dinyatakan dalam Perjanjian Lama. Bahkan, jika seandainya pun ada
yang cenderung untuk membuat garis-garis pemisah yang jelas di antara
perjanjian-perjanjian itu, kesatuan organik dari perjanjian-
perjanjian tersebut tidak boleh diabaikan.
Ciri kesatuan organik inilah yang menolong kita untuk melihat rencana
Allah sebagai suatu wujud yang konsisten dan menyatu. Dalam pandangan
ini, perjanjian dengan Abraham menetapkan Israel sebagai umat Allah
"yang menyatakan Allah" maksudnya melalui umat Israel Allah berkenan
menyatakan diriNya kepada dunia. Taurat yang diberikan di Sinai
merupakan satu bagian utama dari penyataan yang akan diberikan oleh
perjanjian yang ditetapkan sebagai sasarannya. Pada waktu yang sama,
kitab Imamat, Ulangan, dan Yosua berisi pembaharuan perjanjian yang
memperkuat persetujuan itu. Perjanjian Daud (Davidic Covenant)
menggenapi beberapa dari janji-janji mula-mula Allah kepada Abraham
(misalnya, raja-raja akan berasal dari dia) dan pada waktu yang sama
memperluas persetujuan itu untuk mencakup suatu garis keturunan
dinasti. Para nabi berbicara tentang perjanjian yang akan datang
(bandingkan Yesaya 61:8; Yeremia 31:31-34; Yehezkiel 16:60-63; 34:25-
30; 37:19-28; Hosea 2:18:20), dan semua ini biasanya berhubungan
dengan penggenapan yang akan datang dari aspek-aspek perjanjian
terdahulu yang sama sekali tidak terwujud karena kegagalan umat
Israel. --cut---
OTORITAS
Kendatipun tidaklah salah untuk mempelajari Alkitab dari perspektif
sastra dan menghargai sebagai karya sastra yang agung, kita tidak
dapat berhenti di situ. Jika Alkitab hendak dikenal sebagai penyataan
diri Allah, maka Alkitab harus dipandang sebagai karya yang tidak
sekedar mengetengahkan pandangan-pandangan umat yang saleh. Dengan
kata lain, jika Allah tidak dipahami sebagai sumber Perjanjian Lama,
maka Perjanjian Lama itu bukan penyataan-diri Allah. Jika Allah adalah
sumber Perjanjian Lama, maka dapat dimengerti bahwa Perjanjian Lama
memiliki otoritas. Kita menelaah Alkitab karena kita berharap akan
memperoleh firman yang memiliki otoritas dari Allah, bukan berbagai
pendapat yang subjektif dari manusia, betapapun berharga atau benar
pendapat-pendapat tersebut. Otoritaslah yang menjadikan Perjanjian
Lama lebih dari sekedar sastra yang bagus. Oleh karena itu Perjanjian
Baru mengacu kepada Perjanjian Lama sebagai tulisan yang dinapaskan
Allah, atau "diilhami". Pengilhaman adalah sifat yang menunjukkan
Allah sebagai sumber dan menjamin bahwa karya tulisan yang dihasilkan
memiliki otoritas (II Timotius 3:16).
Maka dapat dimengerti bahwa jika kita mengharapkan Alkitab berisi
penyataan yang berkuasa dan absah dari Allah maka otoritas tersebut
harus terdapat dalam apa yang hendak dikomunikasikan oleh Alkitab,
bukan dalam apa yang pembaca ingin dengar. Dalam hal ini pun Alkitab
berbeda dari kepustakaan yang lain. Bila kita membaca sebuah novel
atau syair, daya atau kekuatan buku atau tulisan itu dapat diukur
melalui kemampuannya untuk membangkitkan tanggapan dari pembaca dan
memadu hal itu dengan gagasan dari pengarangnya untuk menciptakan dan
menciptakan kembali "berbagai arti" baru setiap kali buku itu dibaca.
Dalam cara ini sebuah syair dapat berarti satu hal bagi seorang
pembaca, sedangkan bagi pembaca lain syair tersebut mempunyai makna
yang lain sama sekali. Kendatipun dinamika seperti ini dapat merupakan
hasil dari proses penerapan ketika membaca Perjanjian Lama, kenyataan
bahwa firman tertulis itu memiliki otoritas sedangkan tanggapan
pembaca tidak, hendaknya menjadi peringatan agar kita tidak dapat
merasa pias dengan mempelajari pelajaran-pelajaran kita sendiri dari
Alkitab, betapa pun bernilainya pelajaran-pelajaran tersebut. Kita
harus berusaha untuk menemukan apa yang hendak dikumunikasikan oleh
penulis, karena disitulah terkandung otoritas.
Apakah implikasi-implikasi dari otoritas yang dimiliki oleh teks? Yang
pertama adalah bahwa kita menerima apa yang dikatakan teks sebagai
kebenaran. Jika Allah tidak pernah mengadakan perjanjian dengan
Abraham atau tidak pernah berfirman kepada Musa di Sinai; jika
penaklukkan negeri perjanjian hanya sekedar suatu polemik khayal bagi
Israel untuk memebela ekspansi wilayahnya; jika perjanjian Daud tidak
lebih dari suatu siasat politik yang dilakukan oleh orang-orang Daud
untuk menyatakan bahwa Allah membenarkan keberlangsungan dinasti
mereka, maka Alkitab bukanlah penyataan-diri Allah, melainkan sekedar
propaganda dan tidak ada sangkut paut sama sekali dengan kita. Jika
ada pengertian meskipun sedikit, yang menunjukkan bahwa Alkitab adalah
firman Allah, maka Alkitab harus diterima sebagai kebenaran.
Implikasi kedua adalah bahwa kita perlu menanggapinya. Jika Alkitab
benar-benar pernyataan-diri Allah yang berwenang, maka kita tidak
boleh mengabaikannya ataupun tidak mengambil peduli. Allah tidak hanya
menghendaki penyembahan, tetapi juga ketaatan, keadilan, kesetiaan,
kekudusan, kebenaran, dan kasih. Singkatnya, Ia ingin agar kita
menjadi seperti Dia - itulah salah satu alasan Ia menyatakan diri
sebagaimana adanya itu.
|