Nama Kelas | : | Doktrin Alkitab Lanjutan |
Nama Pelajaran | : | Kitab-Kitab Apokrifa |
Kode Pelajaran | : | DAL-P03 |
Istilah "apokrifa" berasal dari bahasa Yunani apokrufos, artinya "tersembunyi". Ada dua implikasi dari arti istilah ini:
Kitab-kitab yang "disembunyikan" karena sifatnya yang tidak dipahami atau diketahui secara umum.
Kitab-kitab yang "disembunyikan" karena kitab-kitab tersebut tidak pernah diakui sebagai kitab-kitab kanon oleh orang-orang Ibrani.
Jadi, pada umumnya, Kitab-kitab Apokrifa dipahami sebagai sejumlah kitab yang ditambahkan dalam Alkitab. Kitab-kitab ini yang ditulis pada masa intertestamental (masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), yaitu antara tahun 300 sM - 100 M. Jumlah kitab-kitab tersebut tidak jelas karena tergantung dari pengakuan masing-masing kelompok. Kebanyakan kitab-kitab itu ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi kemudian dikenal juga dalam bahasa Yunani, Latin, Etiopia, Kupti, Arab, Siria, dan Armenia.
Sampai pada abad ke-16, pendirian orang Kristen terhadap kedudukan kitab-kitab Apokrifa sebagai kanon masih sedikit terombang-ambing. Namun sebenarnya, sejak awal masa gereja mereka sudah ditolak sebagai kitab-kitab kanon. Saat itu, gereja menerimanya hanya sebagai kitab-kitab yang boleh dibaca untuk memberi manfaat rohani secara pribadi, bukan sebagai bagian dari kitab-kitab Kanon (Alkitab).
Ada dua istilah lain yang perlu dimengerti sehubungan dengan Kitab-kitab Apokrifa, yaitu Protokanonika dan Deuterokanonika. Protokanonika adalah proses kanonisasi yang pertama (Yunani: protos -- first) untuk menetapkan atau mengakui kitab-kitab orang Yahudi (yang sekarang menjadi seluruh Perjanjian Lama dalam Alkitab) sebagai firman Allah. Sedangkan Deuterokanonika adalah kanonisasi kedua yang dilakukan karena ada bapa-bapa gereja yang tidak puas dengan Protokanonika.
Pada Protokanonika ditetapkan bahwa Kitab-kitab Apokrifa tidak diterima sebagai kitab-kitab kanon (Alkitab Yahudi/PL). Namun, ada bapa-bapa gereja yang tidak puas dengan keputusan tersebut sehingga pada Deuterokanonika mereka menetapkan Kitab-kitab Apokrifa untuk diterima sebagai tambahan dari kitab-kitab Kanon. Ini berlaku hingga sekarang oleh gereja-gereja Katolik, dan umumnya kitab-kitab ini diletakkan di tengah di antara kitab-kitab PL dan PB. Namun, gereja-gereja Kristen tetap menolak hingga hari ini.
Sejak abad kedua Sebelum Masehi hingga abad keempat Sesudah Masehi, Kitab-kitab Apokrifa cukup banyak dibaca, baik di kalangan orang Yahudi maupun di kalangan orang-orang Kristen. Pengarang-pengarang kitab-kitab itu tidak diketahui namanya. Dari kitab-kitab itu sendiri dikatakan dikarang oleh atau berhubungan dengan salah satu tokoh dari Perjanjian Lama atau dari Perjanjian Baru, misalnya Yesaya, Musa, Henokh, Petrus, Thomas dll..
Semua kitab Apokrifa terdapat dalam Kanon LXX (Septuaginta), tetapi dikeluarkan dari Kanon Perjanjian Lama Ibrani oleh Sinode Yamnia. Apokrifa mencakup kitab-kitab yang tidak diakui otoritas keilahiannya dan ditolak dalam Protokanonika. Protokanonika adalah proses kanonisasi yang pertama (Yunani: protos -- first). Protokanonika menetapkan atau mengakui kitab-kitab orang Yahudi (yang sekarang menjadi seluruh Perjanjian Lama dalam Alkitab) sebagai firman Allah. Sedangkan Deuterokanonika adalah kanonisasi kedua yang dilakukan karena ada bapa-bapa gereja yang tidak puas dengan Protokanonika. Mereka beranggapan harusnya ada kitab-kitab lain yang juga diakui sebagai firman Allah. Dengan demikian, Deuterokanonika memasukkan Apokrifa ke dalam kanon mereka. Gereja Katolik menerima Deuterokanonika karena ada 2 ajaran Gereja Katolik yang didukung dalam kitab apokrifa, yaitu:
Kitab-kitab apokrifa ini jelas ditolak dan terpisah dari Alkitab Ibrani sehingga orang-orang Ibrani tidak menganggap Kitab-kitab apokrifa sebagai bagian dari kanon Perjanjian Lama.
Kitab-kitab Apokrifa terdiri dari sekumpulan buku yang beraneka ragam. Kita akan melihat macam-macam dari kitab Apokrifa yang ada di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Kitab-kitab ini ditulis antara tahun 300 sM - 100 M dan kebanyakan tidak diketahui penulisnya. Kitab-kitab ini berjumlah 15 buah dan dimasukkan ke dalam versi Septuaginta abad ke-4. Apokrifa Perjanjian Lama dibagi ke dalam 5 jenis, yaitu: Pengajaran (Didaktik), Roman Religius (Romantis), Sejarah, Nubuatan, dan Dongeng (Legenda).
Nama-nama kitab tersebut adalah sebagai berikut
- Kebijaksanaan Salomo (kira-kira tahun 30 sM)
- Eklesiastikus (Sirakh) (132 sM)
- Tobit (kira-kira tahun 200 sM)
- Yudit (kira-kira tahun 150 sM)
- 1 Esdras (kira-kira 150-100 sM)
- 1 Makabe (kira-kira tahun 110 sM)
- 2 Makabe (kira-kira 110-70 sM)
- Barukh (kira-kira 150-50 sM)
- Surat Nabi Yeremia (300-100 sM)
- 2 Esdras (kira-kira tahun 100)
- Tambahan pada Ester (140-130 sM)
- Doa Azaria (abad kedua atau pertama sM) (Kidung Tiga Pemuda)
- Susana (abad kedua atau pertama sM)
- Dewa Bel dan Naga (kira-kira 100 sM)
- Doa Manasye (abad kedua atau pertama sM)
Tidak ada daftar yang pasti untuk kitab-kitab Apokrifa PB. Kebanyakan kitab-kitab itu berisi fiksi religius, yang digunakan untuk memenuhi keingintahuan mereka tentang peristiwa-peristiwa kehidupan Tuhan Yesus yang tidak dituliskan dalam Injil kanon. Juga, cerita-cerita tentang akhir kehidupan para rasul yang tidak diceritakan dalam kitab kanon PB.
Nama-nama kitab Apokrifa Perjanjian Baru di antaranya adalah:
- Shepherd of Hermas
- Didache, Teaching of the Twelve
- Epistle of Pseudo Barnabas (Injil Barnabas)
- Gospel according to the Hebrews (Injil Ibrani)
Semua kitab tersebut sangat banyak membicarakan masa kecil Yesus dan tentu saja tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Sebagai contoh, Injil Barnabas banyak dibicarakan di kalangan kaum muslim dan mereka menganggap Injil itu adalah asli. Padahal jika kita menyelidikinya, kita akan mengetahui bahwa Injil Barnabas ditulis abad 15 - 16 Masehi oleh seorang Kristen yang berpindah ke agama Islam sehingga dia menulis Injil tersebut untuk membuktikan tentang kedatangan Nabi Muhammad. Jika kita merujuk kepada Alkitab, penulis Injil Barnabas ini bukanlah seorang yang menerima inspirasi dari Roh Kudus.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, kitab-kitab apokrifa tidak dimasukkan sebagai kitab-kitab Kanon. Kita mengetahui bahwa kelompok Yahudi tidak pernah sekalipun mempertimbangkan apokrifa sebagai bagian dari Kitab Suci. Jika diselidiki dalam Alkitab, maka kitab Apokrifa juga tidak pernah dikutip atau disebutkan, dan tentu ini menjadi salah satu pertimbangan utama atas penolakan menerima Kitab-kitab apokrifa.
Philo sangat banyak mengutip PL dan mengakui PL, tetapi dia tidak pernah mengutip apokrifa sebagai kitab yang diinspirasikan.
Yosefus secara tegas menolak apokrifa dan tidak pernah mengutip kitab-kitab apokrifa sebagai Kitab Suci.
Yesus dan para rasul penulis PB tidak mengutip kitab-kitab Apokrifa ini sebagai Kitab Suci.
Konsili gereja Kristen abad pertama sampai abad keempat tidak pernah mengakuinya.
Yerome sebagai sarjana dan para penerjemah Vulgate menolak Apokrifa sebagai kitab kanonik.
Selain alasan-alasan yang dikemukakan oleh para Bapa Gereja, berikut adalah alasan penolakan Kitab Apokrifa dilihat dari sudut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru:
Dari alasan-alasan di atas, maka jelas bahwa Kitab-kitab Apokrifa sangat sulit diterima kebenarannya baik dari sisi doktrin iman Kristen, nubuatan PL, maupun sejarah, dll..
Sekalipun gereja tidak menerima Kitab-kitab Apokrifa sebagai kitab-kitab Kanon, apabila dibaca, kitab-kitab ini bisa memiliki nilai dan manfaat, misalnya:
Sampai saat ini, gereja-gereja Kristen tidak mendorong jemaat untuk membaca Kitab-kitab Apokrifa, bahkan banyak jemaat Kristen yang tidak paham tentang keberadaan kitab-kitab ini.
"Tuhan Yesus, saat ini aku datang kepadamu dan memohon agar Engkau semakin meneguhkan aku melalui firman-Mu yang tertulis di dalam Alkitab. Tolonglah agar aku tidak henti-hentinya belajar tentang kedalaman firman-Mu sehingga hidupku semakin berkenan dan memuliakanmu. Amin."