BAB 2
Kristus dan Alkitab
Di dalam Bab 1 kita telah membahas ‘Allah dan Alkitab’, mempelajari asal mula Alkitab, dari mana asalnya – penyataan Allah yang luar biasa. Bab 2 adalah ‘Kristus dan Alkitab’, bukan lagi mengenai asal mula, tetapi tentang tujuan Alkitab; bukan dari mana asalnya, tetapi untuk apa Alkitab diberikan. Perikop yang kita pakai adalah Yohanes 5:31-40, ketika Yesus sedang berbicara dengan orang-orang Yahudi, dan Ia berkata.
Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu․ (Yoh. 5:39-40)
Dari perkataan Yesus ini, kita belajar dua kebenaran penting tentang Kristus dan Alkitab.
 

Alkitab Memberi Kesaksian tentang Kristus
Yesus sendiri berkata dengan sangat jelas; ‘Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku…’ (ay. 39). Tujuan utama Alkitab adalah memberi kesaksian tentang Kristus.
Konteks perikop kita berkaitan dengan kesaksian tentang Kristus: kesaksian apa yang dapat membenarkan klaim Yesus dari Nazaret? Yesus sendiri yang memberi tahu kita. Pertama-tama, Dia tidak mengandalkan kesaksian-Nya sendiri tentang diri-Nya, seperti yang jelas dari ayat 31: ‘Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku tidak benar.’ Tentu saja Yesus bukan menyatakan bahwa Dia berbohong tentang diri-Nya. Memang, Dia kemudian membantah kritik orang Farisi dengan bersikeras bahwa kesaksian terhadap diri-Nya adalah benar (Yoh. 8:14). Maksud Yesus di sini adalah kesaksian tentang diri sendiri tidaklah memadai; akan mencurigakan jika satu-satunya kesaksian tentang diri-Nya berasal dari Dia sendiri. Kata Yesus, ‘ada yang lain yang bersaksi tentang Aku dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar’ (ay. 32). Jadi kesaksian yang Yesus andalkan bukanlah kesaksian-Nya sendiri, dan juga bukan kesaksian manusia, bahkan bukan kesaksian dari seorang saksi yang luar biasa, yaitu Yohanes Pembaptis. ‘Kamu telah mengirim utusan kepada Yohanes, dan Ia telah bersaksi tentang kebenaran; tetapi Aku tidak memerlukan kesaksian dari manusia…’ (ay. 33-34).
Jadi, Yesus mengatakan bahwa kesaksian itu bukan dari diri-Nya sendiri, dan juga bukan dari manusia. Tentu saja yang dimaksud dengan ‘…pelita yang menyala dan memberi terang…’ dalam ayat 35 adalah Yohanes Pembaptis, dan orang-orang Yahudi mau ‘untuk sementara waktu senang menerima cahayanya itu’ (ay. 35b BIMK). Namun, kesaksian yang diklaim Yesus lebih besar, lebih besar dari kesaksian-Nya sendiri, dan lebih besar dari kesaksian manusia manapun, bahkan dari Yohanes Pembaptis. Kesaksian itu adalah kesaksian dari Bapa-Nya. ‘Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku’ (ay. 37a). Lebih lagi, kesaksian Bapa tentang Anak dinyatakan melalui dua hal. Pertama, diberikan melalui pekerjaan-pekerjaan besar, yaitu mukjizat-mukjizat, yang diserahkan Bapa kepada Yesus untuk dilaksanakan (ay. 36). Kedua, yang lebih langsung dari Bapa, yaitu melalui Alkitab, adalah kesaksian Bapa tentang Anak. Ayat 36-39 menjelaskan hal ini:
Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting daripada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku. Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku. Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya, rupa-Nya pun tidak pernah kamu lihat, dan firman-Nya tidak menetap di dalam dirimu, sebab kamu tidak percaya kepada Dia yang diutus-Nya. Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku….
Inilah yang berulang kali diajarkan oleh Yesus bahwa Kitab Suci Perjanjian Lama adalah firman Allah yang memberi kesaksian tentang diri-Nya. Sebagai contoh, Yesus berkata, ‘Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku…’ (Yoh. 8:56). Dan dalam Yohanes 5:46 Yesus berkata, ‘…Musa… telah menulis tentang Aku’. Sekali lagi, ‘…Kitab-kitab Suci… memberi kesaksian tentang Aku…’ (Yoh. 5:39). Pada awal pelayanan-Nya, ketika beribadah di sinagoga di Nazaret, Yesus membaca Yesaya 61 tentang misi Mesias dan pesan pembebasan, dan Ia menambahkan: ‘Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya’ (Luk. 4:21). Dengan kata lain, maksud Yesus adalah ‘Jika kamu ingin tahu tentang siapa yang ditulis oleh nabi itu, dia menulis tentang Aku.’ Yesus berulang kali mengatakan hal ini sepanjang pelayanan-Nya. Bahkan setelah kebangkitan-Nya, Dia tidak berubah, karena ‘…Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci… (Luk. 24:27). Jadi dari awal hingga akhir pelayanan-Nya, Yesus menyatakan bahwa seluruh kesaksian nubuatan dalam Perjanjian Lama, dengan segala keragamannya, menunjuk kepada-Nya. ‘Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku.’
Namun, orang-orang Yahudi pada masa Yesus tidak mengerti kesaksian ini. Mereka mempelajari Perjanjian Lama dengan sangat tekun. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Perkataan Yesus bahwa, ‘Kamu menyelidiki Kitab Suci,’ memang mereka lakukan. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksa dengan sangat cermat detail-detail kecil dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Mereka menghitung jumlah kata – bahkan jumlah huruf – dalam setiap kitab dari Kitab Suci. Mereka tahu bahwa kepada merekalah dipercayakan firman Allah (Rm. 3:2). Mereka menyangka bahwa dengan bertambahnya pengetahuan tentang detail-detail Kitab Suci akan membawa mereka pada relasi yang benar dengan Allah. ‘Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal’. Sungguh aneh, mereka menyangka bahwa Kitab Suci itu dapat memberi hidup yang kekal! Kitab Suci menunjuk kepada Kristus sebagai Sang Pemberi Hidup, dan mendorong pembacanya untuk meminta hidup kekal dari-Nya. Namun, bukannya pergi kepada Kristus untuk memperoleh hidup kekal, melainkan mereka menyangka dapat menemukannya di dalam Kitab Suci itu sendiri. Ini seperti menerima resep dari dokter dan kemudian menelan resep itu; bukannya memakai resep tersebut untuk membeli dan meminum obatnya!
Sebagian dari kita melakukan kesalahan yang sama. Kita memiliki kepercayaan bahwa membaca Alkitab seolah-olah mempunyai efek magis. Namun, tidak ada keajaiban di dalam Alkitab atau dalam membaca Alkitab secara mekanis. Firman yang tertulis menunjuk kepada Firman yang Hidup dan mengatakan, ‘Pergilah kepada Yesus.’ Jika kita tidak pergi kepada Yesus sebagaimana dikatakan oleh firman, kita gagal mencapai tujuan dari membaca Alkitab.
Orang Kristen bukanlah, atau tidak seharusnya, menjadi penyembah Alkitab. Kita tidak menyembah Alkitab; kita menyembah Kristus yang tertulis di dalam Alkitab. Bayangkan seorang laki-laki muda yang sedang jatuh cinta. Dia punya pacar yang mencuri hatinya. Jadi dia membawa foto kekasihnya di dompet karena foto itu mengingatkannya pada kekasihnya saat dia jauh. Kadang-kadang, ketika tidak ada orang yang melihat, dia bahkan mungkin mengambil dan mencium foto itu. Namun, bagaimanapun foto itu tidak akan bisa menggantikan kekasihnya. Begitu pula dengan Alkitab. Kita menyukainya hanya karena kita mengasihi Yesus yang dinyatakan di dalamnya.
Ini adalah pedoman penting untuk memahami firman Allah. Alkitab adalah penyataan Allah tentang Yesus dan memberi kesaksian tentang Dia. Jadi setiap kali membaca Alkitab, kita harus mencari Kristus. Sebagai contoh, hukum Perjanjian Lama adalah ‘penuntun’ bagi kita sampai Kristus datang (Gal. 3:24). Karena hukum Allah mengutuk ketidaktaatan kita, maka Kristus sangat penting bagi kita. Kitab Suci membawa kita kepada Yesus, yang melalui-Nya kita mendapatkan pengampunan.
Kurban-kurban dalam Perjanjian Lama menunjuk pada kurban yang sempurna di kayu salib, sekali untuk selama-lamanya – yaitu pengorbanan Kristus untuk menebus dosa-dosa kita. Contoh lain adalah ajaran nabi-nabi di Perjanjian Lama yang bernubuat tentang kedatangan Mesias. Mereka berbicara tentang Kristus sebagai raja dari keturunan Daud, yang dalam pemerintahan-Nya akan ada kedamaian, kebenaran dan stabilitas. Mereka menulis tentang Kristus sebagai ‘keturunan Abraham’, yang melalui Dia semua bangsa di dunia akan diberkati. Dia digambarkan sebagai ‘Hamba Tuhan yang menderita’ yang akan mati untuk dosa-dosa umat-Nya, dan sebagai ‘anak manusia yang datang dengan awan-awan dari langit’ yang akan disembah oleh semua orang. Semua gambaran dari nubuatan Perjanjian Lama ini memberi kesaksian tentang Kristus.
Di dalam Perjanjian Baru, sosok Yesus Kristus menjadi lebih jelas. Injil penuh dengan kisah tentang Dia. Keempat Injil berbicara tentang kelahiran dan pelayanan-Nya, tentang pekerjaan dan perkataan-Nya, tentang kematian dan kebangkitan-Nya, serta tentang kenaikan-Nya dan karunia Roh Kudus. Kitab Kisah Para Rasul menceritakan apa yang kemudian Yesus lakukan dan ajarkan melalui para rasul yang telah Dia pilih dan diberi tugas. Surat-surat para rasul menggambarkan kemuliaan dalam diri Yesus sebagai manusia dan sebagai Allah, serta karya penyelamatan-Nya.
Kitab Wahyu, yaitu kitab terakhir di Alkitab, juga penuh dengan uraian tentang Kristus. Di dalam kitab ini Yesus berbicara melalui Yohanes kepada jemaat-jemaat, duduk di atas takhta bersama dengan Allah Bapa di surga, menunggang kuda putih sebagai pemenang, dan datang dalam kuasa dan kemuliaan.
Sama seperti sebuah pepatah kuno Inggris yang mengatakan bahwa setiap jalan setapak dan setiap jalan pedesaan di Inggris saling terhubung satu dengan yang lain, dan pada akhirnya akan membawa Anda tiba di London; demikian juga setiap ayat dan setiap pasal di dalam Alkitab saling terhubung satu dengan yang lain, dan pada akhirnya akan menuntun Anda kepada Kristus. Kitab Suci memberi kesaksian tentang Dia. Inilah kebenaran pertama yang diajarkan dengan sangat jelas dalam Yohanes 5:31-40.
 

Kristus Memberi Kesaksian tentang Alkitab
Ketika Yesus berbicara tentang kesaksian Yohanes Pembaptis, Dia mengatakan bahwa itu adalah kesaksian manusia (Yoh. 5:33-34), dan menambahkan bahwa kesaksian yang lebih penting bukan dari manusia. Kesaksian yang Yesus miliki lebih besar, yaitu kesaksian Bapa-Nya melalui pekerjaan-Nya (ay. 36) dan firman-Nya (ay. 38). Inilah pernyataan yang jelas dari Yesus bahwa Kitab Suci Perjanjian Lama adalah ‘firman’ Bapa-Nya, dan kesaksian ini bukanlah dari manusia, melainkan dari Allah Bapa.
Hal ini juga yang selalu diajarkan oleh Yesus. Kenyataannya, alasan utama mengapa kita mau tunduk pada otoritas Alkitab adalah karena Yesus Kristus mengautentikasi Kitab Suci memiliki otoritas Allah. Jika ingin memahami hal ini (dan seharusnya kita memahaminya), maka kita perlu membedakan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Alkitab, tentu saja, terdiri dari keduanya, tetapi Yesus lahir, hidup dan mati di antara masa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Karena itu, cara Dia mengautentikasi Perjanjian Lama berbeda dengan cara Dia mengautentikasi Perjanjian Baru. Dia melihat ke Perjanjian Lama, Dia juga melihat ke Perjanjian Baru, dan mengautentikasi keduanya.
 
a) Yesus mendukung Perjanjian Lama
Yesus tidak hanya menyebutkan Perjanjian Lama sebagai ‘firman’ Bapa-Nya dan memberi ‘kesaksian’ tentang Dia, seperti yang telah kita pelajari di atas, tetapi Dia juga mengatakan ‘…Kitab Suci tidak dapat dibatalkan’ (Yoh. 10:35). Pada awal Khotbah di Bukit, Yesus mengatakan: ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan Hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi’ (Mat. 5:17-18). Sikap Yesus terhadap Kitab Suci Perjanjian Lama adalah sikap tunduk dan hormat, sebab Dia percaya bahwa tunduk pada firman yang tertulis adalah tunduk pada firman Bapa-Nya. Oleh karena Dia percaya bahwa Kitab Suci itu dari Allah, Dia menyatakan misi-Nya sebagai Mesias dalam terang kesaksian nubuatan dan menambahkan bahwa hal-hal tertentu harus terjadi karena Kitab Suci harus digenapi.
Lebih jauh lagi, Yesus menaati perintah-perintah dalam Perjanjian Lama, seperti ketika Dia dicobai oleh Iblis di padang gurun di Yudea. Yesus memerintahkan Iblis untuk meninggalkan-Nya dengan menyebutkan firman yang tertulis di dalam Kitab Suci. Sehalus apa pun cobaan si Iblis, Yesus tahu untuk tidak mendengarkan maupun bernegosiasi. Dia bertekad untuk menaati Allah, bukan menaati Iblis; dan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci menyelesaikan masalah itu bagi-Nya (misalnya Lukas 4:4, 8, 12).
Yesus juga menjadikan Kitab Suci sebagai dasar dari semua argumen dan perdebatan-Nya dengan para pemimpin agama pada masa itu, dan pada setiap kesempatan Dia merujuk pada Kitab Suci. Yesus mengecam orang Farisi karena mereka menambahkan tradisi ke dalam Kitab Suci, dan juga mengkritik orang Saduki karena mereka mengurangi hal-hal supernatural yang ada di dalam Kitab Suci, misalnya kebangkitan. Jadi Yesus meninggikan Kitab Suci sebagai perkataan Bapa-Nya, untuk dipercaya dan ditaati. Dia tidak memperbolehkan perubahan pada Kitab Suci, baik menambahkan atau mengurangi.
Yesus juga menyatakan bahwa, dengan kedatangan-Nya, waktunya telah genap (Mrk. 1:14-15), dan karena itu penantian telah berakhir. Ini berarti, seperti yang disadari oleh para pengikut-Nya, bahwa orang nonYahudi diterima di dalam kerajaan Allah sebagaimana orang Yahudi, dan bahwa tradisi Yahudi tidak diperlukan lagi, termasuk hukum Yahudi tentang makanan (Mrk. 7:19) dan – di atas segalanya – tentang kurban dan darah.
Namun, di dalam Injil tidak pernah disebutkan bahwa Yesus tidak setuju dengan ajaran tentang doktrin dan moral yang ada di dalam Perjanjian Lama. Apa yang ditentang oleh Yesus adalah penafsiran yang salah dan distorsi terhadap isi Perjanjian Lama. Inilah yang dimaksud oleh Yesus dalam Khotbah di Bukit, ketika Dia berkata, ‘Kamu telah mendengar firman… Tetapi Aku berkata kepadamu…’, yang diulangi-Nya sebanyak enam kali. Apa yang telah mereka ‘dengar’ adalah ‘ajaran kepada nenek moyang’. Hal-hal inilah yang dikritik oleh Yesus, bukan ajaran Musa dalam hukum Taurat. Apa yang tertulis dalam Kitab Suci diterima oleh Yesus sebagai perkataan Bapa-Nya.
Jika demikian, dan buktinya sangat banyak, kita harus menambahkan bahwa seorang murid tidak lebih tinggi dari gurunya. Tidak dapat dibayangkan bahwa seorang Kristen yang memandang Yesus sebagai Guru dan Tuhan memiliki pandangan yang lebih rendah daripada pandangan Yesus tentang Perjanjian Lama.
Apa gunanya kita menyebut Yesus sebagai ‘Guru’ dan ‘Tuhan’ kalau kemudian tidak setuju dengan-Nya. Pandangan Yesus tentang Kitab Suci harus menjadi pandangan kita juga. Dia percaya Kitab Suci, kita juga harus percaya. Karena Dia menaati Kitab Suci, kita juga harus menaatinya. Yesus dengan tegas mendukung otoritas Kitab Suci.
 
b) Yesus mempersiapkan penulisan Perjanjian Baru
Sebagaimana Allah memanggil nabi-nabi dalam Perjanjian Lama untuk mencatat dan menafsirkan apa yang Dia lakukan, dan kemudian ‘mengutus’ mereka untuk mengajar bangsa Israel, demikian juga Yesus memanggil rasul-rasul untuk mencatat dan menafsirkan apa yang Dia lakukan dan katakan, lalu ‘mengutus’ mereka untuk mengajar jemaat, dan dunia. Inilah yang dimaksud dengan kata apostolos, seorang yang ‘diutus’ dalam suatu misi dengan sebuah pesan. Yesus memilih dua belas orang untuk menyertai Dia – untuk mendengar perkataan-Nya, melihat pekerjaan-Nya, dan kemudian memberi kesaksian dari apa yang telah mereka lihat dan dengar (bandingkan Mrk. 3:14; Yoh. 15:27). Selanjutnya, Dia menjanjikan kepada mereka Roh Kudus untuk mengingatkan mereka tentang ajaran-Nya dan untuk melengkapinya, memimpin mereka ke dalam seluruh kebenaran (Yoh. 14:25-26, 16:12-13). Ini menjelaskan mengapa Yesus kemudian dapat berkata kepada para rasul, ‘Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku…’ (lihat Luk. 10:16; Mat. 10:40; Yoh. 13:20). Dengan kata lain, Yesus memberi otoritas-Nya kepada mereka, sehingga sikap orang terhadap ajaran para rasul mencerminkan sikap orang tersebut terhadap ajaran-Nya. Kemudian ke dalam kelompok para rasul, Yesus menambahkan Paulus dan mungkin satu atau dua orang lagi, dan memberi mereka otoritas kerasulan yang sama.
Para rasul sendiri mengakui otoritas unik yang telah mereka terima sebagai pengajar jemaat. Pada saat-saat tertentu mereka tidak ragu-ragu untuk menempatkan diri sejajar dengan para nabi Perjanjian Lama, karena mereka juga adalah pemberita ‘firman Allah’ (mis. 1Tes. 2:13). Mereka berbicara dan menulis dalam nama Yesus Kristus dan dengan otoritas-Nya. Mereka memberi perintah dan meminta jemaat menaatinya (2Tes. 3), bahkan memberi instruksi agar surat-surat mereka dibaca di hadapan jemaat ketika orang Kristen berkumpul bersama untuk beribadah (Kol. 4:16; 1Tes. 5:27). Dengan demikian para rasul menempatkan surat-surat mereka sejajar dengan Kitab Suci Perjanjian Lama. Inilah asal mula kebiasaan jemaat pada masa itu, yang berlanjut hingga saat ini, yaitu membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di dalam ibadah jemaat.
Paulus menyadari otoritas kerasulannya, dan hal ini jelas terlihat di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia. Untuk mengunjungi mereka, Paulus harus mendaki pegunungan Taurus ke dataran tinggi Galatia, dan tiba di sana dalam keadaan sakit yang mungkin memengaruhi penglihatannya (Gal. 4:13-16). Ia selanjutnya mengatakan: ‘…kamu tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang hina dan yang menjijikkan, tetapi kamu telah menyambut aku, sama seperti menyambut seorang malaikat Allah, malahan sama seperti menyambut Kristus Yesus sendiri’ (ay. 14). Mereka tidak hanya menyambutnya sebagai ‘malaikat’ atau utusan Allah, tetapi mendengarkannya seolah-olah dia adalah Yesus Kristus sendiri. Perhatikan bahwa dia tidak menegur mereka karena hal ini. Paulus tidak berkata, ‘Apa yang kalian lakukan ini? Kenapa kamu memberi penghormatan yang seharusnya kamu berikan kepada Kristus?” Dia tidak mengatakan hal itu, melainkan memuji mereka atas apa yang telah mereka lakukan. Motivasi mereka bukan sekadar sopan santun orang Kristen dalam menyambut orang asing, tetapi lebih dari itu karena mereka mengakui Paulus sebagai utusan Allah, seorang rasul, yang mengunjungi mereka dalam nama dan dengan otoritas Kristus. Jadi mereka menerima Paulus seolah-olah dia adalah Kristus.
Bukan hanya para rasul yang memahami otoritas mereka sebagai pengajar, tetapi jemaat mula-mula memahaminya juga. Tidak lama setelah semua rasul mati, para pemimpin jemaat tahu bahwa mereka memasuki era baru pasca-kerasulan. Di dalam jemaat tidak ada lagi orang yang mempunyai otoritas seperti yang dimiliki Paulus, Petrus atau Yohanes. Ignatius dari Antiokhia (110 M) mungkin adalah contoh pertama yang jelas tentang hal ini. Ia melayani jemaat setelah Yohanes, rasul yang terakhir, meninggal. Dalam perjalanannya ke Roma untuk dieksekusi, Ignatius menulis beberapa surat kepada jemaat di Efesus, Roma, Trallian dan lain-lain. Beberapa kali dalam suratnya dia menulis: ‘Tidak seperti Petrus atau Paulus, saya tidak memberi perintah kepada kalian karena saya bukan rasul, tetapi orang yang terhukum.’ Ignatius adalah seorang penilik jemaat. Namun demikian, dia tahu bahwa dia bukanlah seorang rasul, dan karena itu tidak memiliki otoritas seorang rasul. Jemaat mula-mula memahami perbedaan ini dengan jelas. Jadi, ketika tiba saatnya untuk memperbaiki kanon Perjanjian Baru pada abad ketiga Masehi, ujian terhadap autentisitas sebuah kitab adalah bersifat apostolik.
Pertanyaan penting yang harus diajukan tentang sebuah kitab yang diperdebatkan adalah: apakah kitab itu ditulis oleh seorang rasul? Jika tidak, apakah berasal dari kalangan rasul? Apakah berisi ajaran para rasul? Apakah sudah mendapat pengesahan dari para rasul? Jika jawaban untuk salah satu pertanyaan di atas menunjukkan bahwa kitab itu ‘apostolik’, maka kitab tersebut masuk dalam kanon Kitab Suci Perjanjian Baru.
Saat ini sangatlah penting untuk mengingat kembali pemahaman tentang otoritas unik dari rasul-rasul Kristus. Mereka adalah saksi mata dari Tuhan yang telah bangkit (Kis. 1:21-26; 1Kor. 9:1, 15:8-10), yang telah menerima amanat dan inspirasi khusus dari Kristus. Karena itu, kita tidak berhak mengabaikan ajaran mereka seolah-olah itu hanya pendapat mereka sendiri. Para rasul tidak berbicara atau menulis atas nama mereka sendiri, tetapi atas nama Kristus.
 

Kesimpulan
Tibalah sekarang pada kesimpulan. Kita percaya Kitab Suci karena Kristus mendukung Perjanjian Lama dan Dia juga mempersiapkan para rasul untuk menulis Perjanjian Baru dengan memberi otoritas kepada mereka. Oleh karena itu, Alkitab adalah dari Yesus Kristus. Dialah yang telah memberikan otoritas-Nya pada Alkitab, dan karena kita bertekad untuk tunduk pada-Yesus, kita juga bertekad untuk tunduk pada Alkitab. Doktrin kita tentang Kitab Suci terikat dengan kesetiaan kepada Yesus Kristus. Jika Dia adalah Guru dan Tuhan kita, maka kita tidak memiliki kebebasan untuk tidak setuju dengan Yesus Kristus. Pandangan kita tentang Kitab Suci harus sama dengan pandangan-Nya.
Sehubungan dengan hal di atas, dapat dimengerti apabila sebagian orang berkeberatan. Mereka memberi rangkuman yang akurat dengan mengatakan bahwa, ‘Alkitab memberi kesaksian tentang Kristus dan Kristus memberi kesaksian tentang Alkitab’. Namun, selanjutnya mereka berkata, ‘Kesaksian timbal balik ini, di mana yang satu memberi kesaksian bagi yang lain dan sebaliknya, merupakan argumentasi sirkular. Bukankah kesaksian timbal balik ini mengasumsikan kebenaran yang ingin Anda buktikan? Artinya, untuk membuktikan bahwa Alkitab diilhamkan oleh Allah, Anda merujuk pada ajaran Yesus, tetapi Anda memercayai ajaran Yesus karena Alkitab diilhamkan oleh Allah. Bukankah ini merupakan argumentasi sirkular, dan karena itu tidak sahih?’ Keberatan ini penting untuk dihadapi. Namun, sebenarnya argumentasi kita merupakan penalaran linier dan bukan sirkular.
Penjelasan saya adalah sebagai berikut: Ketika pertama kali mendengar kesaksian Alkitab tentang Kristus, kita membaca Perjanjian Baru tanpa memiliki pengetahuan tentang doktrin Alkitab sebagai inspirasi dari Allah. Kita menerimanya hanya sebagai kumpulan dokumen sejarah abad pertama, dan itu memang benar. Namun, melalui kesaksian sejarah tersebut, Roh Kudus memimpin kita untuk beriman kepada Yesus. Kemudian Yesus, yang kita percayai, membawa kita kembali ke Alkitab; dan di dalam pengajaran-Nya, Ia memberi kita sebuah doktrin tentang Kitab Suci, yang belum kita miliki ketika mulai membaca Alkitab. Yesus memberi tahu kita bahwa kesaksian sejarah dalam Alkitab adalah juga kesaksian ilahi, dan bahwa melalui para nabi dan para rasul, Allah Bapa memberi kesaksian tentang Yesus.
Setiap kali membaca Alkitab, hendaknya kita mengingat tujuan utamanya. Kitab Suci adalah kesaksian Bapa tentang Sang Anak. Kitab Suci menunjuk pada Yesus. Di dalamnya dikatakan, ‘Pergilah kepada-Nya untuk mendapatkan hidup – hidup yang berkelimpahan – di dalam Dia.’ Oleh karena itu, apa pun yang kita perbuat dengan teks Alkitab, apabila tidak membuat kita mempunyai komitmen yang lebih kuat kepada Yesus Kristus dalam iman, kasih, penyembahan dan ketaatan, adalah sesat. Hal itu membuat kita mendapat teguran dari Yesus: ‘Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa olehnya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu’ (Yoh. 5:39-40).
Alkitab (sebagaimana dikatakan oleh Luther) adalah palungan dimana Yesus terbaring. Jangan kita memeriksa palungan dan lupa menyembah Sang Bayi. Alkitab bisa dikatakan seperti bintang yang masih menuntun orang bijak kepada Yesus. Jangan biarkan keingintahuan tentang astronomi menyibukkan kita sehingga rumah yang ditunjuk oleh sang bintang terlewati, rumah yang di dalamnya ada Kristus, Sang Anak. Kita bisa juga mengatakan, Alkitab adalah kotak perhiasan, di mana Sang Permata, Yesus Kristus, diletakkan. Jangan kita mengagumi kotak perhiasan dan mengabaikan Sang Permata.
Jadi, tidaklah cukup memiliki Alkitab, membaca Alkitab, mencintai Alkitab, mempelajari Alkitab, mengetahui isi Alkitab. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah Kristus yang ada dalam Alkitab adalah pusat kehidupan kita? Karena inilah tujuan utama dari Alkitab. Jika Kristus tidak menjadi pusat, semua yang kita pelajari dalam Alkitab adalah sia-sia belaka.