BAB 5
Orang Kristen dan Alkitab
Orang Kristen dan Alkitab
Dalam bab-bab sebelum ini, kita telah membahas tentang empat hal:
• ‘Allah dan Alkitab’ sebab Dia adalah penulisnya;
• ‘Kristus dan Alkitab’ sebab Dia adalah subyek utamanya;
• ‘Roh Kudus dan Alkitab’ sebab Dia yang mengilhaminya;
• ‘Gereja dan Alkitab’ sebab gereja dibangun di atasnya dan terpanggil untuk menjaga dan menyebarkannya.
Dalam bab terakhir ini kita akan membahas tentang hal yang lebih pribadi dan individual – ‘orang Kristen dan Alkitab’.
Saya tidak ragu-ragu mengatakan bahwa Alkitab sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan kedewasaan rohani setiap orang Kristen. Orang Kristen yang mengabaikan Alkitab tidak akan menjadi dewasa. Ketika Yesus mengutip dari Kitab Ulangan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari firman Allah, maksud-Nya adalah bahwa firman Allah sama pentingnya untuk pertumbuhan rohani seperti makanan untuk kesehatan tubuh. Dalam hal ini, yang saya maksud bukan orang Kristen yang belum memiliki Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa mereka, atau orang Kristen buta huruf yang mungkin memiliki Alkitab dalam bahasa mereka tetapi tidak dapat membacanya sendiri. Yang pasti, orang-orang seperti itu bukan berarti sama sekali tidak menerima makanan firman Allah, karena mereka masih bisa menerimanya dari pendeta, misionaris, kerabat atau teman. Walau demikian, menurut saya, hidup kekristenan mereka akan lebih diperkaya jika mereka dapat memiliki akses langsung ke Alkitab. Itu sebabnya penerjemahan Alkitab ke semua bahasa di dunia adalah pekerjaan yang sangat penting. Namun, yang saya pikirkan adalah orang Kristen yang sudah memiliki Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Masalahnya bukanlah karena Alkitab tidak tersedia, tetapi tidak dimanfaatkan. Kita perlu membaca dan merenungkannya setiap hari, mempelajarinya dalam kelompok persekutuan dan mendengarnya dikhotbahkan dalam ibadah hari Minggu. Jika tidak, kita tidak akan bertumbuh. Bertumbuh menjadi dewasa di dalam Kristus bergantung pada pemahaman yang baik dan respons percaya terhadap Alkitab.
Saya ingin menjawab pertanyaan yang mungkin timbul dalam pikiran Anda: bagaimana dan mengapa Alkitab bisa membuat kita bertumbuh? Sebagai ilustrasi tentang keefektifan Alkitab sebagai sarana anugerah Allah, saya mengambil kisah Yesus membasuh kaki para murid-Nya, yang tertulis dalam Yohanes 13. Setelah selesai, Yesus mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya, lalu Dia menyebut diri-Nya sebagai guru mereka: ‘Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan’ (ay. 13). Implikasinya jelas, bahwa melalui tindakan membasuh kaki, Yesus mengajar mereka beberapa kebenaran dan pengajaran yang Dia ingin mereka pelajari, yaitu:
a) Yesus mengajar mereka tentang Diri-Nya
Tindakan Yesus membasuh kaki para murid adalah gambaran tentang karya misi-Nya. Yohanes tampaknya memahami hal ini dengan jelas, karena di awal peristiwa ini ia menulis kata-kata berikut: ‘Yesus tahu… bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya…’ (ay. 3-4). Yesus mengetahui semua hal ini, dan Dia memperlihatkannya melalui tindakan. Mungkin interpretasi terbaik adalah Filipi 2, yang mengungkapkan tahap-tahap bagaimana Dia merendahkan diri sebelum ditinggikan. Jadi Yesus ‘bangun’, sebagaimana Dia telah bangkit dari takhta surgawi-Nya. Dia ‘menanggalkan jubah-Nya’, sebagaimana Dia telah meninggalkan kemuliaan-Nya dan mengosongkan diri-Nya. Kemudian Yesus ‘mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya’ (simbol seorang hamba), sebagaimana dalam inkarnasi Dia mengambil rupa seorang hamba. Selanjutnya, Dia mulai ‘membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain’, sebagaimana Dia telah disalibkan untuk membersihkan kita dari dosa. Setelah itu, Yesus mengenakan kembali ‘pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya’, sebagaimana Dia kembali ke surga mulia dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Melalui semua tindakan ini, Dia memperlihatkan semua karya misi-Nya di dunia. Yesus mengajar mereka tentang diri-Nya, siapa Dia, dari mana Dia datang dan ke mana Dia pergi.
b) Yesus mengajar mereka tentang karya keselamatan-Nya
Yesus berkata kepada Petrus, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh. 13:8). Dengan kata lain, pengampunan dosa diperlukan untuk menikmati persekutuan dengan Yesus Kristus. Jikalau tidak dibasuh oleh Yesus, kita tidak memiliki hubungan apapun dengan-Nya. Di sini Yesus membedakan antara dua jenis pembasuhan: mandi dan pembasuhan kaki. Para rasul akrab dengan perbedaan ini. Sebelum mengunjungi seorang teman, mereka akan mandi terlebih dahulu. Kemudian, setibanya di rumah temannya, seorang hamba akan membasuh kaki mereka. Mereka tidak perlu mandi lagi, tetapi hanya dibasuh kakinya. Yesus tampaknya menggunakan ritual yang terkenal ini untuk mengajarkan teologi yang kurang terkenal: ketika kita pertama kali datang kepada Yesus dalam pertobatan dan iman, kita mandi dan dibasuh seluruhnya. Secara teologis, ini disebut ‘pembenaran’ atau ‘kelahiran kembali’, dan disimbolkan dalam baptisan. Kemudian, sebagai seorang Kristen, ketika jatuh ke dalam dosa, yang kita butuhkan bukanlah mandi lagi (kita tidak dapat dibenarkan atau dibaptis ulang) tetapi pembasuhan kaki; yaitu pembersihan dari dosa atau pengampunan setiap hari. Jadi dalam ayat 10 Yesus berkata: “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya.”
c) Yesus mengajar mereka tentang kehendak-Nya
Sebelum duduk untuk makan di ruang atas, para murid bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka begitu sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang terbesar sehingga mereka duduk untuk makan tanpa pembasuhan kaki. Rupanya tidak ada hamba yang membasuh kaki mereka, dan tidak terpikir oleh mereka bahwa salah satu dari mereka bisa mengambil peran sebagai hamba untuk membasuh kaki yang lain. Jadi pada saat makan malam Yesus melakukan apa yang tidak seorang pun dari mereka lakukan, yaitu merendahkan diri untuk membasuh kaki. Selanjutnya, sesudah Yesus selesai membasuh kaki mereka, Dia berkata, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya… Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya” (Yoh. 13:14-17). Tuhan kita merendahkan diri-Nya untuk melayani. Dia menghendaki kita melakukan hal yang sama.
Dalam satu peristiwa ini, Yesus mengajarkan tiga hal. Pertama, tentang diri-Nya: bahwa Dia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Kedua, tentang karya keselamatan-Nya: bahwa setelah ‘mandi’ dalam pembenaran, yang kita butuhkan adalah ‘pembasuhan kaki’ terus menerus. Ketiga, tentang kehendak-Nya: bahwa kita harus saling ‘membasuh kaki’, yaitu saling mengasihi dengan melayani dalam kerendahan hati. Atau dengan kata lain, Yesus mengajarkan tiga hal yang membutuhkan tiga respons. Dengan memberi penyataan tentang diri-Nya, Yesus meminta kita untuk menyembah-Nya. Dengan memberi janji keselamatan, Yesus meminta kita untuk memercayai-Nya. Dengan memberi perintah untuk saling mengasihi dan melayani, Yesus meminta kita untuk menaati-Nya.
Menurut saya, bukan berlebihan untuk mengeklaim bahwa semua ajaran Alkitab dapat dibagi ke dalam tiga kategori berikut ini, yang memerlukan tiga respons, karena di seluruh Alkitab terdapat:
• Penyataan Allah yang menuntut penyembahan kita,
• Janji keselamatan yang menuntut iman kita,
• Perintah Allah tentang apa yang harus kita kerjakan yang menuntut ketaatan kita.
Setelah mengambil contoh dari peristiwa pembasuhan kaki, sekarang kita akan melihat tiga kategori di atas yang memerlukan tiga respons dengan lebih jelas.
Penyataan Allah
Alkitab adalah penyataan diri Allah, otobiografi ilahi. Di dalam Alkitab, Allah sedang berbicara tentang diri-Nya. Dia memperkenalkan diri-Nya secara progresif dalam kekayaan pribadi-Nya. Di dalam Perjanjian Lama Allah mengungkapkan diri-Nya sebagai Pencipta alam semesta dan Pencipta manusia menurut rupa dan gambar-Nya, yang adalah klimaks dari ciptaan-Nya; sebagai Allah yang hidup, menopang dan memberi kehidupan kepada segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya; sebagai Allah yang memilih dan mengadakan perjanjian dengan Abraham, Ishak, Yakub dan keturunan mereka untuk menjadi umat pilihan-Nya; dan sebagai Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan maha pengampun, tetapi juga sebagai Allah yang maha benar yang menghukum penyembahan berhala dan ketidakadilan di antara umat-Nya sendiri dan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal-Nya. Di dalam Perjanjian Baru Allah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa dari Tuhan dan Juru Selamat kita Yesus Kristus, Allah yang mengutus Yesus ke dunia untuk menjadi sama dengan manusia, dilahirkan dan tumbuh menjadi dewasa, hidup dan mengajar, bekerja dan menderita, mati dan bangkit, menduduki takhta surgawi dan mengutus Roh Kudus; kemudian, sebagai Allah dari umat Perjanjian Baru, yaitu gereja, Allah mengutus umat-Nya ke dunia sebagai saksi-saksi-Nya dan hamba-hamba-Nya dalam kuasa Roh Kudus; dan akhirnya sebagai Allah yang suatu hari kelak akan mengutus Yesus Kristus dalam kuasa dan kemuliaan – untuk menyelamatkan, menghakimi dan memerintah, yang akan menciptakan alam semesta baru, dan yang pada akhirnya akan menjadi segalanya bagi semua orang.
Penyataan agung dari Allah (Bapa, Anak dan Roh Kudus), yang dimulai dari penciptaan hingga penyempurnaan, menggerakkan kita untuk menyembah-Nya. Ketika kita melihat keagungan Allah, kemuliaan dan anugerah-Nya, kita tersungkur di hadapan-Nya dan memberi-Nya penghormatan dari bibir kita, hati kita dan hidup kita. Jika membaca Alkitab dengan sepenuh hati, pasti kita akan menyembah Allah. Firman Allah membawa kita pada penyembahan.
Janji Keselamatan
Kita telah melihat bahwa tujuan utama Allah dalam memberi kita Alkitab adalah untuk ‘…memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus’ (2Tim. 3:15). Jadi, Alkitab menceritakan kisah tentang Yesus, menunjuk kepada-Nya di dalam Perjanjian Lama, mengisahkan karya-Nya dalam Injil, dan membukakan kesempurnaan pribadi dan karya-Nya dalam surat-surat para rasul. Lebih dari itu, Alkitab tidak hanya menjelaskan bahwa Yesus adalah Juru Selamat kita satu-satunya, tetapi juga mendorong kita untuk datang dan percaya kepada-Nya. Alkitab menjanjikan bahwa jika percaya kepada Yesus, kita akan diampuni dan menerima Roh Kudus. Alkitab penuh dengan janji-janji keselamatan, menjanjikan kehidupan baru dalam komunitas baru bagi mereka yang menjawab panggilan Yesus Kristus. Yesus memberi satu janji kepada Petrus dalam peristiwa pembasuhan kaki ketika Dia berkata kepadanya, ‘Kamu sudah bersih’ (Yoh. 13:10). Petrus pasti mengerti janji itu dan memercayainya; bahkan setelah dia menyangkal Yesus, dia tidak ditolak. Tentu saja dia perlu bertobat, diampuni, dan diutus kembali. Namun, dia tidak perlu ‘mandi’ lagi karena dia sudah ‘dibersihkan’ oleh Yesus. Perkataan Yesus tersebut pasti menenangkan hatinya dan memberikan kedamaian pada hati nuraninya yang terus mengganggunya.
Pada abad ketujuh belas, seorang pengkhotbah Inggris bernama John Bunyan menulis alegori tentang kehidupan Kristen dalam buku yang berjudul ‘Pilgrim’s Progress’ (Perjalanan Seorang Musafir), di mana dia menggambarkan kesulitan dari dua pengelana, Christian dan Hopeful. Dalam cerita itu, mereka dengan tidak sengaja berada di halaman Doubting Castle (Istana Keraguan), yang dimiliki oleh Giant Despair (Monster Keputusasaan). Mereka ditangkap oleh Giant Despair, yang mengancam hidup mereka: nampaknya tidak mungkin untuk melarikan diri. Kemudian pada hari ketiga, sekitar tengah malam, ‘mereka mulai berdoa, dan terus berdoa sampai menjelang pagi’. Beberapa saat sebelum fajar, Christian menyadari bahwa dia memiliki kunci yang disebut Promise (Janji) ‘yang saya yakin dapat membuka semua pintu di Istana Keraguan’. Dengan dukungan semangat dari Hopeful, Christian mencoba kuncinya, dan ‘pintu terbuka dengan mudah’. Dengan kunci itu mereka dapat melarikan diri melalui pintu penjara bawah tanah, pintu luar, dan pintu gerbang besi istana, dan Giant Despair tidak dapat menghentikan mereka.
Kita juga memiliki kunci yang disebut Janji karena Allah telah memberikannya kepada kita di dalam Alkitab. Pernahkah kita menggunakannya untuk melarikan diri dari Istana Keraguan? Ketika Iblis mengganggu hati nurani kita, dan mencoba meyakinkan bahwa tidak ada pengampunan bagi orang berdosa seperti kita, hanya kepercayaan yang kuat pada janji Allah bagi orang yang bertobat yang dapat membebaskan kita dari godaan Iblis. Ketika bimbang, kita harus belajar untuk bersandar pada janji pimpinan-Nya; saat takut, bersandar pada janji perlindungan-Nya; saat kesepian, bersandar pada janji kehadiran-Nya. Janji Allah, yaitu janji keselamatan-Nya, bisa menjaga hati dan pikiran kita.
Sehubungan dengan hal ini, kita perlu mengatakan bahwa baptisan dan perjamuan terakhir (Yoh. 13:1-20) adalah simbol dari janji-janji Allah. Air baptisan serta roti dan anggur perjamuan adalah simbol-simbol yang dapat dilihat. Namun, lebih khusus lagi, itu adalah simbol anugerah Allah, simbol yang menyatakan janji pembersihan, pengampunan dan kehidupan baru dari Allah bagi mereka yang bertobat dan percaya kepada Yesus. Jadi, janji-janji Allah menopang dan memperkuat iman kita.
Perintah Allah yang harus ditaati
Ketika Allah memanggil suatu bangsa untuk menjadi umat-Nya, Dia menyatakan apa yang Dia inginkan dari umat-Nya. Mereka adalah umat pilihan; Allah mengharapkan mereka berperilaku yang berbeda dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Karena itu, Dia memberi mereka Sepuluh Perintah sebagai rangkuman dari kehendak-Nya, yang ditegaskan oleh Yesus dalam Khotbah di Bukit, yang membuat para pendengar Yesus bertanya-tanya. Yesus berkata bahwa hidup keagamaan para murid harus ‘lebih benar’ dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat. 5:20). Yang dimaksud dengan ‘lebih benar’ adalah lebih dalam; ketaatan penuh yang berasal dari hati yang benar dan penuh sukacita.
Penting bagi kita saat ini untuk menekankan panggilan Allah akan ketaatan moral karena setidaknya ada dua kelompok yang menyangkalnya. Kelompok pertama adalah orang yang berpendapat bahwa satu-satunya perintah Allah yang mutlak adalah kasih, dan semua hukum yang lain telah dihapuskan, dan kasih adalah satu-satunya pedoman untuk perilaku orang Kristen. Menurut mereka, apapun yang merupakan ekspresi kasih adalah baik; dan yang tidak sesuai dengan kasih adalah jahat. Tentu saja kasih sejati (pengorbanan diri untuk melayani orang lain) adalah kebaikan utama orang Kristen, dan untuk melakukannya sangatlah tidak mudah. Kasih membutuhkan pedoman, dan inilah yang dinyatakan dalam perintah-perintah Allah. Kasih tidak meniadakan hukum; melainkan menggenapinya (Rm. 13:8-10).
Kelompok kedua adalah orang Kristen yang menafsirkan pernyataan Paulus bahwa ‘Kristus adalah kegenapan hukum Taurat’ (Rm. 10:4) dan bahwa ‘kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia’ (Rm. 6:14) memiliki makna bahwa orang Kristen tidak lagi berkewajiban untuk menaati hukum Allah. Menurut mereka, mencoba melakukan hal itu adalah sebuah ‘legalisme’ yang bertentangan dengan kebebasan yang telah diberikan Kristus kepada kita. Namun, mereka salah mengerti maksud Paulus. Legalisme yang ditolak oleh Paulus bukanlah ketaatan pada hukum Allah itu sendiri, tetapi ketaatan sebagai upaya untuk memperoleh perkenan dan pengampunan Allah. Menurut Paulus, hal ini tidak mungkin karena ‘tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat…’ (Rm. 3:20).
Namun, setelah memperoleh pembenaran oleh kasih karunia Allah semata (dinyatakan benar di hadapan-Nya secara cuma-cuma di dalam Kristus, meskipun tidak layak), kita kemudian wajib untuk menaati hukum-Nya, dan ingin melakukannya. Memang benar Kristus mati bagi kita ‘supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita’ (Rm. 8:4), dan Allah memberi Roh-Nya diam di dalam batin kita untuk menuliskan hukum-Nya di hati kita (Yer. 31:33; Yeh. 36:27; Gal. 5:22-23). Karena itu, kebebasan Kristen adalah kebebasan untuk taat, bukan untuk tidak taat. Seperti yang Yesus katakan beberapa kali, jika kita mengasihi-Nya, kita akan menaati perintah-perintah-Nya (Yoh. 14:15, 21-24, 15:14). Dan di dalam Alkitablah, perintah-perintah Allah ditemukan.
Jadi di dalam Alkitab, Allah memberi kita:
• Penyataan tentang diri-Nya yang membawa kita untuk menyembah Dia,
• Janji keselamatan yang menstimulasi iman kita,
• Perintah sebagai ekspresi dari kehendak-Nya yang menuntut ketaatan kita.
Inilah arti dari pemuridan Kristen, yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu penyembahan, iman dan ketaatan. Ketiga unsur ini diilhami oleh firman Allah. Penyembahan adalah respons terhadap penyataan diri Allah. Ini adalah kekaguman akan kemuliaan Allah. Iman adalah keyakinan yang menenteramkan pada janji-janji Allah, yang membebaskan kita dari fluktuasi kehidupan religius yang naik turun. Tidak ada yang bisa membebaskan kita dari hal itu kecuali janji-janji Allah, karena perasaan kita berubah-ubah, tetapi firman Allah tetap teguh selamanya. Ketaatan adalah komitmen pada kehendak Allah yang didasari oleh kasih. Hal itu menyelamatkan kita dari jebakan relativisme moral dan menjejakkan kaki kita di atas batu karang perintah Allah yang mutlak.
Lebih jauh lagi, penyembahan, iman dan ketaatan – tiga unsur pemuridan – semuanya tidak berpusat pada diri sendiri. Dalam penyembahan, kita berpusat pada kemuliaan Allah; dalam iman pada janji-janji-Nya; dalam ketaatan pada perintah-perintah-Nya. Pemuridan Kristen yang sejati tidak pernah berpusat pada diri sendiri. Alkitab adalah buku yang memerdekakan, yang menarik kita keluar dari diri sendiri, dan membuat kita memuja Allah, kemuliaan-Nya, janji-Nya dan kehendak-Nya. Mengasihi Allah seperti ini (dan mengasihi orang lain bagi Dia) berarti dibebaskan dari ikatan egoisme yang mengerikan. Orang Kristen yang hanya memikirkan dirinya sendiri menjadi lumpuh, dan hanya firman Allah yang dapat membebaskannya dari kelumpuhan akibat dari berpusat pada diri sendiri.
Kesimpulan
Pentingnya Alkitab dalam kehidupan Kristen mengekspos kelemahan teologi liberal. Meragukan reliabilitas Alkitab membuat pemuridan Kristen menjadi mustahil. Semua orang Kristen setuju bahwa pemuridan mencakup penyembahan, iman dan ketaatan. Penyembahan, iman dan ketaatan adalah bagian sangat penting dari kehidupan Kristen. Tanpa ketiga hal ini, kita tidak bisa hidup sebagai orang Kristen. Namun, ketiga hal tersebut tidak akan mungkin tanpa Alkitab yang reliabel.
Bagaimana bisa menyembah Allah jika kita tidak tahu siapa Dia, bagaimana Dia dan penyembahan seperti apa yang menyenangkan-Nya? Orang Kristen bukanlah orang Atena yang menyembah Allah yang tidak dikenal (Kis. 17:23). Kita harus mengenal Allah sebelum bisa menyembah-Nya. Dan Alkitablah yang memberi tahu kita seperti apa Dia.
Bagaimana bisa yakin dan percaya pada Allah jika kita tidak tahu janji-janji-Nya? Iman tidak sama dengan takhayul atau percaya tanpa bukti. Iman adalah kepercayaan yang bernalar, bersandar pada janji-janji Allah dan pada karakter Allah yang membuat janji-janji itu. Tanpa janji Allah, iman kita menjadi lemah dan mati. Dan janji-janji Allah terdapat di dalam Alkitab.
Bagaimana bisa kita menaati Allah, jika kita tidak tahu kehendak dan perintah-Nya? Ketaatan Kristen bukanlah ketaatan buta, tetapi ketaatan dengan mata terbuka dan penuh kasih. Karena Allah telah memberi kita perintah-perintah di dalam Alkitab, dan menunjukkan bahwa perintah-perintah-Nya itu tidak berat.
Jadi, tanpa penyataan Allah, penyembahan tidak mungkin; tanpa janji-janji Allah, iman tidak mungkin; tanpa perintah-perintah Allah, ketaatan tidak mungkin. Karena itu, tanpa Alkitab, pemuridan tidak mungkin.
Apakah kita menyadari betapa diberkatinya kita karena memiliki Alkitab? Allah dengan murah hati telah menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk pemuridan. Dia telah menyatakan diri-Nya, keselamatan-Nya dan kehendak-Nya kepada kita. Allah telah memampukan kita untuk menyembah-Nya, memercayai-Nya dan menaati-Nya. Atau dengan kata lain, Dia memampukan kita untuk hidup di dunia sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya. Jadi, kita perlu membaca Alkitab dengan penuh harapan setiap hari. Jika tidak, maka pembacaan Alkitab menjadi suatu rutinitas yang membosankan dan tidak menyegarkan. Dan hal ini adalah suatu kesalahan besar karena kita tidak melakukannya dengan keyakinan bahwa Allah mau, mampu dan ingin berbicara kepada kita melalui firman-Nya. Kita perlu membaca Alkitab setiap hari dengan permohonan seperti yang diucapkan Samuel, ‘Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar’. Dan TUHAN akan berbicara! Kadang-kadang melalui firman-Nya Dia menyatakan diri-Nya kepada kita; kita akan melihat sebagian dari kemuliaan-Nya, hati kita akan sangat tersentuh; dan kita akan berlutut dan menyembah Dia. Kadang-kadang melalui firman-Nya Dia akan memberi janji-Nya; kita akan menggapainya, memegangnya, serta berkata: ‘Tuhan, aku tidak akan melepaskan janji-Mu sampai aku memperolehnya dan menjadi kenyataan bagiku.’ Kadang-kadang melalui Alkitab Dia akan memberi suatu perintah; kita akan menyadari bahwa kita harus bertobat dari ketidaktaatan; dan kita harus berdoa dan bertekad dengan kasih karunia-Nya kita akan menaati-Nya.
Penyataan-penyataan, janji-janji dan perintah-perintah Allah akan kita simpan dalam pikiran kita sampai ingatan kita menjadi seperti lemari yang terisi penuh. Lalu pada saat dibutuhkan, kita dapat mengambil dari lemari itu kebenaran-kebenaran atau janji-janji atau perintah-perintah yang sesuai dengan situasi kita pada saat itu. Tanpa ini, pasti kita tidak akan pernah menjadi dewasa. Hanya jika kita merenungkan firman Allah, mendengarkan Dia berbicara kepada kita, mendengar suara-Nya, dan merespons-Nya dalam penyembahan, iman dan ketaatan, kita akan bertumbuh menjadi dewasa di dalam Kristus.